Dalam pembahasan ini kita akan mulai
pembahasan kita dengan melihat bekerjanya pasar uang dan kemudian setelah ini
diikuti dengan pembahasan tentang pasar tenaga kerja. Kemudian yang nantinyan
diakhir pembahasan kita akan melihat bagaimana pasar barang, pasar uang dan
pasar tenaga kerja akan menuju ke posisi keseimbangan umumnya. Setiap perubahan
situasi makro harus dikaji dalam kerangka proses keseimbangan umum ini.
Di
pasar uang, penawaran akan uang bertemu dengan permintaan akan uang dan
menentukan “harga” dari uang. Menurut Keynes, “harga” uang adalah harga yang
harus dibayar untuk penggunaan uang, yang tidak lain adalah tingkat bunga.
Penawaran akan uang dianggap ditentukan oleh penguasa moneter, sehingga identik
dengan jumlah uang yang beredar. Permintaan akan uang merupakan focus dari
teori moneter dari Keynes. Ia mengatakan bahwa seseorang memegang uang tunai
(atau “meminta” uang tunai) karena ia mempunyai tujuan-tujuan (motif) tertentu
yang bisa dipenuhi dengan menggunakan uang tunai.
Ada tiga macam tujuan atau motif
memegang uang:
a) Motif transaksi
b) Motif berjaga-jaga
c) Motif spekulasi
Motif transaksi timbul karena dalam
perekonomian yang menggunakan uang sebagai alat tukar-menukar ada kebutuhan
untuk menyelesaikan transaksi-transaksi lewat penggunaan uang. Didalam
masyarakat yang didasarkan atas barter, tentunya kebutuhan akan alat likuid
yang bisa sewaktu-waktu digunakan untuk menyelesaikan transaksi tidak akan
timbul. Uang tunai yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk tujuan ini tergantung
kepada volume transaksi yang dijalankan dan tingkat harga umum.
Keynes
juga membedakan permintaan akan uang untuk tujuan melakukan
pembayaran-pembayaran yang tidak regular atau yang di luar rencana transaksi
normal, misalnya untuk pembayaran keadaan-keadaan darurat seperti kecelakaan,
sakit, dan pembayaran yang tak terduga lain. Motif ini disebut motif
berjaga-jaga (pre-cautionary motive). Orang akan mendapat manfaat dari memegang
uang untuk menghadapi keadaan-keadaan yang tak terduga tersebut, karena sifat
uang yang likuid, yaitu mudah untuk ditukarkan dengan barang-barang lain.
Menurut Keynes permintaan akan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
akan uang untuk transaksi, yaitu terutama dipengaruhi oleh tingkat penghasilan
orang tersebut, dan mungkin dipengaruhi pula oleh tingkat bunga.
Permintaan
akan uang untuk motif transaksi dan berjaga-jaga tersebut tidak menyimpang dari
teori Klasik, yaitu memandang kebutuhan akan uang dari fungsinya sebagai alat
tukar. Yang merupakan pembaharuan dalam teori moneter Keynes adalah unsur yang
ketiga dari permintaan akan uang, yaitu permintaan akan uang untuk tujuan
spekulasi. Sesuai dengan namanya, motif dari pemegangan uang ini adalah
terutama bertujuan untuk memperoleh “keuntungan” yang bisa diperoleh dari
seandainya si pemegang uang tersebut meramal apa yang akan terjadi dengan
betul. Motif spekluasi ini bisa kita terangkan lebih lanjut sebagai berikut.
Pada
garis besarnya teori Keynes membatasi pada keadaan dimana pemilik kekayaan
(asset holder) bisa memilih apakah memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai
atau obligasi (bond). Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan,
sedangkan obligasi dianggap memberikan penghasilan berupa sejumlah uang
tertentu setiap periode. Dalam model Keynes dibicarakan khusus obligasi yang
memberikan suatu penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode
selama waktu yang tak terbatas (perpetuity). Tetapi meskipun hanya obligasi
semacam ini yang dibicarakan dalam model Keynes sebagai alternative dari
pemegangan kekayaan dalam bentuk uang tunai, hal ini tidak mengurangi validitas
teori Keynes untuk kasus dimana obligasi tidak berbentuk perpetuity, tetapi
yang memberikan aliran penghasilan sampai tanggal jatuh temponya, atau pun
surat-surat berharga lainnya.
Ada beberapa hal yang perlu disadari
mengenai teori pasar uang dari Keynes:
1) Teori tersebut lebih cocok bagi
Negara-negara berkembang yang mempunyai lembaga pasar uang yang telah
berkembang. Mekanisme substitusi antara uang tunai dengan obligasi dan surat-surat
berharga lainnya, yang kemudian menentukan harga dari obligasi (surat-surat
berharga lain) atau tingkat bunga, hanya relevan bagi Negara-negara semacam
ini. Di banyak Negara sedang berkembang, pasar uang belum berkembang (dan
mungkin bahkan belum ada). Mekanisme subtitusi yang relevan, bukan antara uang
tunai dan surat berharga, tetapi antara uang dan barang. Jadi, di Negara-negara
yang terakhir disebut ini mekanisme subtitusi tersebut menentukan harga barang.
Jadi kita kembali lagi kepada dalil Teori Kuantitas kaum Klasik, yang
menyatakan bahwa perubahan jumlah uang yang beredar menentukan harga barang,
bukannya tingkat bunga.
2) Mengenai anggapan bahwa jumlah uang
yang beredar ditentukan oleh penguasa moneter, sebetulnya hanya suatu karikatur
yang kasar dari kenyataan. Kita ingat bahwa uang yang beredar terdiri dari dua
bagian, yaitu uang kartal dan uang giral. Hanya uang kartallah yang langsung
ditentukan oleh penguasa moneter, sedangkan uang giral diciptakan oleh sector
perbankan. Uang giral ini bisa dipengaruhi oleh pemerintah melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan kredit, tingkat bunga dan perbankan. Yang perlu
diingat disini adalah bahwa kekuasaan pemerintah untuk mengendalikan jumlah
uang beredar, tidaklah selangsung dan semutlak seperti yang digambarkan dalam
teorti diatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar